Ketika “hati” Berbicara


Kulajukan motorku agar segera sampai di kampus. Ya, jarak tempuh dari rumahku ke kampus menghabiskan waktu sekitar 30 menit. Sesampainya dipelataran parkiran kampus, aku sengaja menaruh motorku didekat gedung E, karena kelas pagiku saat ini ada disana. Segera kupercepat langkahku menuju koridor kelas yang berada di lantai 2 itu.
Sesampainya didepan pintu, kreeekk… kulihat, pak Lukman sedang memberikan pengarahan.
“Assalamu’alaikum, Pak. Maafkan saya telat datang pagi ini.” Kuatur nafasku sejenak sambil menunduk.
“Wa’alaikumussalam warohmatullah. Habis malam mingguan ya kamu. Yasudah kamu cari kursimu, Nisa”. Aku kesal karena teman-temanku mentertawakanku, tapi yasudahlah yang penting Pak Lukman membolehkanku ikut mata kuliahnya, Testing dan Implementasi Sistem Informasi.
Aku mencari kursi, aku pilih untuk duduk dipojok belakang. Aku sebenarnya masih mengantuk, akibat chatting di Facebook dan nonton film korea semalaman suntuk hingga pukul 2 dini hari. Maklum, aku pecinta berat film Korea.

Yups, Namaku Layla Althafunnisa, teman-temanku biasa memanggilku Nisa. Dibilang tomboy tidak juga, terkadang aku memakai rok ke kampus.
Seusai mata kuliah Pak Lukman, aku dan Tari menuju kantin kampus. Tari adalah sahabatku. Dia shalehah, dan juga santun. Kami berteman sudah 6 tahun yang lalu, dari masa-masa bangku Tsanawiyah. Segera kubuka jaketku, terik matahari membuatku rasanya gerah sekali hari ini.
“Astaghfirullah, Nisa. Kamu pakai lagi jaketnya. Malu dilihat mahasiswa lainnya. Apa-apaan kamu pakai baju you can see gitu, itu auratmu !”. Bentak Tari melarangku, dan menyuruhku segera mengenakan jaketku lagi.
“Tar, gerah ini geraah.. kamu ini kayak ibuku tau nggak tadi pagi yang bawel menyuruhku melapisi dengan jaket, lagipula ini lagi trend style yang kayak gini”. Gerutuku sambil melihat Tari yang memandangku sinis.
“Aku ini sayang sama kamu, Nisa. Sebagai sahabat aku wajib mengingatkanmu. Sayang lho tubuh kamu yang mulus dan indah seperti ini kamu umbar di tempat umum, disini banyak mata para lelaki. Kamu harus mampu membedakan mana yang pantas dan tidak pantas. Kamu harus menghargai dan menjaga apa yang kamu miliki, Nisa”. Aku serasa ikut ceramah, dan posisiku sedang dinasehati sama sahabatku. Disaksikan sama mahasiswa lainnya pula lagi di kantin.
“Hehehe.. sudah ceramahnya, Tar? Iya..iya ini aku pakai lagi jaketku. Udah dehPlease jangan ceramah disini. Aku lapar,aku mau pesan makanan dulu, kamu mau pesan sekalian nggak?”. Tanya ku balik ke Tari.
Setelah tau pesanan Tari, kulangkahkan kakiku dan aku memesan makanan menuju stand ibu Melda, ibu kantin yang gaul dan sangat exist di kampusku.
***
Selepas maghrib, aku masih duduk di kantin kampus. Aku mulai suntuk. Selesai kuliah, aku seorang diri. Tari ada acara hari ini. Katanya sih tadi, ada pengajian di Masjid dekat rumahnya. Aku teringat sesuatu, 2 minggu yang lalu aku meminjam buku di perpustakaan, dan aku harus mengembalikannya hari ini. Aku sudah telat mengembalikannya.
Dan, sesampainya di Tower lantai 7. Aku bertemu Irham, teman sekelasku. Dia juga bekerja di kampus, sebagai Assistan Laboratorium.
“Nisa, kamu ngapain disini?” Tanya Irham padaku dan member senyuman khasnya.
“Aku mau dugem. Hehehe.. ya mau balikin buku lah, Irham. Gimana sih..” Candaku padanya.
“Dasar kamu..Hehehe sama, aku juga balikin buku, sudah selesai sih. Oke, aku duluan ya, Nisa”. Dan aku mengiyakannya.
Seusai aku mengembalikan buku. Aku menuju lift untuk turun menuju lantai dasar. Dan di lift, ada seorang mahasiswa laki-laki yang sudah ada didalam, aku tak mengenalnya. Posisiku didepannya dan yang membuatku risih karena mata lelaki itu terus memperhatikan tubuhku. Tapi selang Kemudian ada perkataan usil yang keluar dari mulutnya.
“Cantik, mau ya besok malam temenin gue. Eh, Jangan besok malam, kalo bisa sekarang aja gimana?”. Ucap seorang mahasiswa berbadan tegak dan tinggi sekitar 175 cm itu.
Dan aku sadar, leherku sudah dipegang olehnya. Aku memberi perlawanan dengan memberikan tamparan dan menghindarnya. Aku berteriak, tapi tak satupun yang bisa mendengar teriakanku. Aku masih terus memberikan perlawanan. Dan, Alhamdulillah.. Di lantai 2, lift terbuka. Ada Irham dihadapanku. Irham segera memberikan perlawanan pada mahasiswa yang telah melecehkanku.
Selang beberapa menit kemudian, Irham telah selesai memberi pelajaran pada mahasiswa itu. Ternyata, pria itu habis mengkonsumsi miras, tercium dari aroma yang keluar dari mulutnya. Mahasiswa Fakultas Ekonomi teryata, dan Irham mengenalnya. Segera mahasiswa itu dilaporkan ke pihak keamanan kampus dan segera ditindak lanjuti.
Aku menangis, atas apa yang barusan menimpa diriku. Peristiwa itu cepat sekali. Aku duduk lemas di bangku taman kampus. Dan beberapa menit kemudian.
“Ambil, ini minuman buat kamu, Nis”. Segelas teh manis hangat yang ditawarkan Irham padaku.
Irham duduk disampingku. Meneguk teh manis hangatnya.
“Terima kasih ya, Irham. Aku nggak tau apa jadinya tadi kalo kamu nggak segera nolongin.” Ucapku menyesal dengan apa yang terjadi padaku hari ini.
“Iya. Lain kali kamu jangan sendirian aja kalo ditempat umum, dan juga kalo boleh saran, pakaian yang kamu pakai itu agak sopan ya, biar ndak keulang lagi kejadian seperti tadi. Bagus kamu ndak apa-apa. Sayangi diri kamu, Nis. Kamu itu berharga.” Ucap Irham menasehatiku.
“iya, terima kasih sarannya. Aku menyesal. Lain kali aku lebih sopan dalam berpakaian” Ucapku dan menyeruput teh manis hangatku.
Aku diantar pulang mas irham, aku dengan motorku, dan ia dengan motornya. Padahal rumah mas irham sangat jauh denganku. Sesampainya irumah, mas irham juga pamitan dengan keua orang tuaku.
Keesokan harinya, aku berniat keluar rumah dan juga ke kampus untuk mengenakan hijab. Ku baca dan kupelajari model hijab yang sedang trend saat ini. Kuarahkan wajahku ke cermin, kupakai hijab pashmina dengan model yang kubisa. Alhasil, ternyata aku cantik juga ya dengan mengenakan hijab.
Sesampainya dikampus, aku bertemu Tari. Tari terkejut dengan perubahanku, ada perasaan senang yang ia lontarkan padaku melihat sekarang aku mengenakan hijab ke kampus. Tapi Tari juga mengkritik cara dan mode hijabku, katanya hijabku masih transparent dan juga aku masih berpakaian ketat. Well,lagi-lagi aku salah dimata Tari.
***
Selang beberapa hari kemudian, aku terketuk dengan ucapan seorang anak kecil yang juga berprofesi sebagai pengamen jalanan cilik, ia terlihat lusuh, dan juga kotor namun ia mengenakan jilbab. Aku bertemu dengannya di Terminal bus Metromini jurusan Ciledug-Blok M. Lagi-lagi aku kena pelecehan, seorang pemuda tepat disampingku berdiri memandangku dari atas hingga bawah dan seraya mengutarakan maksudnya.
“Nona lebih cantik dengan tak mengenakan hijab, beramal jangan tanggung-tanggung”.
Mendengar ucapan itu, aku segera pindah tempat dan menjauh dari pemuda itu. Aku kesal dengan ucapannya yang memojokkanku. Aku berada di tempat yang agak jauh dari hiruk pikuknya keramaian, namun tiba-tiba muncul didepanku anak kecil yang tadi ku pikir jilbabnya lusuh dan juga kotor bahkan juga kebesaran. Perlahan ia menghampiriku lebih dekat.
“Kak, nunduk deh sebentar, terus pejamkan mata kakak yah..”. Pintanya padaku, dan aku segera cari tempat duduk terdekat dan menuruti permintaanya untuk duduk menunduk sambil memejamkan mataku dihadapan gadis kecil yang kupikir usianya sekitar 9 tahun. Entah apa yang diperbuatnya padaku. Aku hanya merasakan kepalaku sedang di make over olehnya.
Sekitar 3 menit kemudian…
“Seperti ini cara pakai jilbab yang benar, kakak tambah cantik tauu… “ucapnya sambil menyuruhku membuka mataku.
Dan “nyeeessss” saat hatiku berbicara dan bergejolak terkejut bukan main, melihat hijab yang kukenakan ada pada gadis kecil itu, dan jilbab yang kebesaran milik gadis kecil tiu ada diatas kepalaku.
“Kakak.. jilbab kakak buat Nayla aja yaa, ukurannya pas dikepala Nayla. Dan juga biar kakak nggak diejek lagi sama pemuda tadi karena jilbab Nayla lebih besar dari punya kakak” Ya, gadis kecil itu bernama Nayla. Ucapan singkatnya membuka mata hatiku. Aku malu pada seorang gadis cilik yang begitu prihatin padaku. Aku mengiyakan pintanya untuk bertukar hijab.
Kejadian itu membuka hati dan pikiranku. Begitu aku selalu mengandalkan logikaku, hingga mirisnya aku mengabaikan suara hatiku, suara hati Tari yang menyuruhku lebih mengulurkan jilbabku ke dada. Aku begitu mengejar trend yang justru menggadaikan ajaran syari’at agamu dalam mengenakan jilbab dengan benar.
Dari kejadian itu, aku menggali ilmu agamaku dengan bantuan Tari. Aku diajaknya mengikuti Lembaga Dakwah Kampus Al-Khawarizmi Fakultas Fasilkom dibawah naungan LDK Al-Faruq, aku belajar tajwid serta pengajian rutin kemuslimahan yang diadakan setiap sabtu pagi pukul 8. Tari sangat senang melihat perkembanganku menuju jalan yang diridhoi-Nya.
Sampai suatu ketika, saat aku baru sampai dari kampus sore hari, mobil Avanza berwarna Hijau lumut terparkir dihalaman rumahku. Aku bingung siapa yang bertamu. Kuayunkan langkahku memasuki rumahku.
“Assalamu’alaikum ayah.. bunda” Ucapku memberi salam seperti biasa saat aku masuk kerumahku. Sebelum sampai diruang tamu, ayah menghampiriku.
“Wa’alaikumussalam warohmatulah, ayo masuk Nisa. Ada tamu dari Yogyakarta nih, katanya teman kuliah kamu”. Hatiku bertanya-tanya, teman kampusku yang mana. Biasanya ada kabar kalau ada yang mau datang kerumah.
***
Aku terkejut dan juga senang, ternyata Irham beserta ayah dan ibunya yang berkunjung kerumahku. Irham berniat melamarku malam ini. Ternyata diam-diam Irham memperhatikan kegiatanku di kampus selama ini. Irham menyukai perubahan yang terjadi padaku. Aku juga sebenarnya telah lama mengagumi pribadinya. Semenjak kejadian malam tempo lalu di lift Tower kampus. Ternyata saat “hati” berbicara, kemampuan logika melumpuhkan segalanya. Aku menerima lamarannya, sungguh bagai mimpi bahwa saat ini dia ada dihadapanku. Orang tua kami pun senang, aku tak dapat menyembunyikan kebahagiaan dibalik senyumanku ini.

Tak mampu kuuraikan semuanya dengan hamparan kata
Tak jua mampu kutuangkan semua dalam lautan tinta
Aku hanya manusia biasa..
Memiliki banyak asa dalam setiap doá
Tak takut aku kehilangan akan anugerah cinta manusia
Biar “hati” ini yang berbicara…
Yakin, kelak bertaburnya cinta dalam sebuah nama
Bersamanya..
Menggapai ridho bersamanya kelak hingga di syurga

*** the end ***

Medio Sapa April 2014
created by

“Neng Tari Khairunnisa”

One thought on “Ketika “hati” Berbicara

Leave a comment